Yeni Fitri

Balasan Sebuah Pertolongan

“Lemang... Lemang... Lemang! Uda, Uni, Bapak, Ibu, ada yang mau beli lemang? Rasanya enak loh!. Lemang... Lemang! Ayo Uda, Uni, siapa yang mau beli lemang?” begitulah teriakan Upik Manih si gadis penjual lemang di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra Barat.

Dahulu kala, hiduplah seorang gadis bersama ibunya di sebuah kampung di kaki Gunung Talang. Gadis cantik dan baik hati itu bernama Upik Manih sedangkan ibunya bernama Mak Timah. Mereka hidup sangat sederhana di sebuah gubuk kayu.

Setiap hari Mak Timah membuat Lemang untuk dijual Upik berkeliling kampung. Lemang adalah salah satu makanan khas dari Sumatera Barat yang terbuat dari beras pulut. Setelah direndam beras pulut diaduk dengan santan lalu dimasukkan ke dalam talang yang dialasi dengan daun pucuk pisang. Lemang tersebut dimasak menggunakan api dari kayu bakar.

Lemang Mak Timah terkenal sangat enak dan lezat. Untuk membuat lemang mereka membutuhkan talang yang cukup banyak.

Pada suatu hari, Mak Timah dan Upik Manih mencari talang ke dalam hutan yang agak jauh dari biasanya. Mereka menemukan beberapa rumpun talang yang cukup subur. Betapa senangnya hati Upik melihat rumpun talang tersebut. Tak sabar rasanya, Upik pun segera memilih talang yang bagus untuk ditebang. Saat Upik mengayunkan goloknya, tiba-tiba terdengarlah suara aneh dari rumpun talang.

“Tolong! Tolong.! Tolonglah saya!” bunyi suara aneh dari dalam talang.

Upik Manih terkejut dan tanpa sengaja menjatuhkan goloknya.

“Su... su...  suara apa itu?" tanya Upik ketakutan sambil bersembunyi di belakang Mak Timah. Mak Timah yang penasaran menghampiri rumpun talang untuk mendengarkan suara tersebut lebih jelas lagi.

“Haaaaghhh... Mak Timah... Upik... Tolonglah saya!” suara itu terdengar lebih keras.

“Haa... ha... Hantuuu... !” Upik berteriak lari ketakutan.

“Si... siapa kau? Apakah kau jin atau hantu?” tanya Mak Timah terbata-bata.

“Bukan! Saya bukan Jin, saya juga bukan hantu... Mak Timah... Upik... jangan takut! Saya hanya manusia biasa yang sedang dikutuk di dalam talang ini. Tolonglah saya, Mak, Upik! Tolong keluarkan saya dari talang ini!” pinta suara tersebut.

“Baiklah, jika kau benar-benar manusia, kami akan menolongmu. Tapi, bagaimana kami bisa menolongmu? Kau di mana?” tanya Mak Timah sambil mengerutkan dahinya dan mengarahkan padangannya ke sekitar rumpun talang.

“Lihatlah ke sebelah kiri, Mak. Saya berada dalam talang yang besar ini. Tebanglah talang ini lalu belahlah. Saya berada di ruas keempat dari bawah,” jelas suara itu.

“Jangan, Mak! Saya takut! Jangan-jangan, nanti setelah keluar, ia akan mencelakai kita,” ujar Upik Manih sambil menahan tangan Mak Timah.

“Tidak, Upik! Saya berjanji tidak akan mencelakai kalian. Percayalah! Saya hanya punya satu kali kesempatan ini saja. Saya mohon, Mak, tolonglah saya!” suara itu terdengar memelas.

Mak Timah dan Upik berdebat sambil berbisik. Sebenarnya Upik tidak yakin akan janji suara yang ada dalam talang itu. Tapi, Mak Timah merasa kasihan. “Baiklah, aku akan membelah talang ini,” jawab Mak Timah.

Dengan hati-hati Mak Timah menebang pohon talang itu. Upik Manih membantu Mak Timah membelah talang tersebut. Sontak keduanya Kaget karena yang keluar dari talang itu bukanlah manusia tapi seekor ular.

“U-ulaaar! Ulaaar! Mak ada ular! Aku takut Mak!” teriak Upik sambil berlari menjauh ke arah luar hutan.

“Siapa kau sebenarnya? tanya Mak Timah geram.

“Ini saya. Mak dan Upik jangan takut. Tubuh saya memang panjang dan bersisik seperti ular, tapi saya bukan ular. Saya hanyalah manusia yang dikutuk menjadi ular. Maafkan saya, saya tidak bermaksud menakuti Mak dan Upik. Saya mohon, tolonglah saya, bawa saya keluar dari hutan ini. Saya berjanji tidak akan menyakiti kalian,” jelas Ular yang keluar dari talang itu.

Akhirnya, Mak Timah dan Upik membawa ular itu pulang ke rumah dan membuatkan tempat yang nyaman untuk tidur sang ular. Setiap hari, ular diberi makan dan lauk seadanya. Ular benar-benar menepati janjinya ia bersikap baik dan bersyukur dengan apa yang ia dapatkan. Ia tidak pernah menyakiti bahkan mengganggu Mak Timah dan Upik manih. Keakraban diantara mereka pun terjalin dengan baik. Mereka sudah seperti keluarga. Sementara itu Mak Timah dan Upik Manih tetap menjalankan aktivitasnya sehari-hari seperti biasanya, yaitu mencari talang ke hutan serta membuat dan menjual lemang ke sekeliling kampung.

Mak Timah dan Upik sangat senang karena lemang buatan mereka selalu habis dijual. Namun, persediaan pohon talang di hutan mulai menipis. Upik dan Mak Timah harus masuk agak jauh ke dalam hutan untuk mencari talang yang mereka butuhkan. Meski terkadang mereka tidak mendapatkan satu talang pun. Akan tetapi, hal itu tidak mematahkan semangat mereka. Hanya itu pekerjaan yang bisa mereka kerjakan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Hari demi hari pun berlalu, ular itu tumbuh sehat dan besar. Sesekali ia bermain di sekitar rumah dan memanjat pohon jambu yang ada di dekat rumah Upik Manih. Warga yang sering melihat ular itu menjadi penasaran. Banyak pertanyaan yang muncul dari mana ular itu berasal. Namun, Mak Timah dan Upik hanya tersenyum dan tidak pernah menjelaskannya.

Semakin hari warga semakin risih dan penasaran dengan keberadaan ular tersebut. Hampir setiap hari ular itu menjadi buah bibir warga di sekeliling kampung.

Perdebatan pun terjadi antar warga. Mereka mulai menebak-nebak asal-usul ular tersebut. Ada yang mengatakan itu bukan ular biasa, tapi ular jadi-jadian. Ada juga yang berpendapat ular itu adalah jelmaan jin rimba yang ditemukan Upik saat mencari talang. Bahkan ada yang mengatakan ular itu adalah suami Upik Manih, karena selama ini Upik selalu menolak lamaran pria yang datang kepadanya. Padahal, Upik adalah seorang gadis yang cantik, rajin dan baik hati. Akan tetapi, ia belum juga menikah sampai sekarang.

Pada suatu sore, seperti biasanya Upik menjajakan lemangnya ke sekeliling kampung sambil berteriak. “Lemang... Lemang... Lemang! Uda, Uni, Bapak, Ibu, ada yang mau beli lemang? Ayo beli, dijamin enak rasanya!. Lemang... Lemang! Ayo Uda, Uni belilah lemang yang enak ini!”

Seperti hari-hari sebelumnya, banyak warga yang membeli lemang Upik Manih, namun ada kejadian tak terduga pada sore itu. Ketika Upik sedang menjajakan lemangnya, ada seseorang yang memanggilnya.

“Upik Manih!” teriak seorang ibu lagi sambil melambaikan tangannya.

“Ya, Mande! Silahkan dipilih Mande, Mande mau berapa?” jawab Upik dengan ramah sambil mengeluarkan daun pisang sebagai pembungkusnya.

“Aku tidak mau membeli lemangmu lagi! Mulai hari ini jangan lagi kau berjualan lemang di kampung ini! Kami sudah mendengar berita tentang ular jadi-jadian itu. Bawa lemangmu pergi dari sini, kami tidak sudi memakan lemang buatan ular!” maki seorang warga sambil menunjuk dan mengusir Upik dari sana.

Seketika itu juga, baki berisi lemang Upik terlepas dan berjatuhan di tanah. Upik sangat terkejut mendengar kata-kata si ibu tadi. Tetasan air mulai berjatuhan di pipinya. Ia berusaha menahan agar terlihat tegar. Ia juga mencoba membela dirinya.

“Itu tidak benar mande, itu hanya fitnah. Percayalah! Lemang ini asli buatan Mak saya dan hanya saya yang menolong Mak membuat lemang. Tidak sedikit pun ada campur tangan orang lain apalagi ular,” jawab Upik dengan terisak.

“Pergi sana! Kami tidak pecaya lagi padamu, Kau pembohong! Kau telah menipu kami dengan wajah lugumu itu!” maki si Ibu sambil membentak Upik.

Upik merasa sangat kecewa dan sedih. Hatinya tergoncang, ia sangat terpukul dengan makian itu. Sesampai di rumah, Upik segera memeluk Mak Timah dan menceritakan kejadian yang ia alami tadi. Mereka tidak menyangka akan difitnah seperti itu.

Hingga beberapa hari kemudian tidak ada lagi warga yang mau membeli lemang Upik. Mak Timah dan Upik tidak bisa menjual lemang lagi. Ular mendengar dan mengetahui keadaan Upik dan Mak Timah yang semakin sulit. Namun, mereka berusaha untuk tetap tegar dan sabar, mereka juga tidak pernah menyesal telah menolong ular itu. Sang Ular ikut sedih melihat keadaan ini.

Keadaan ini berlangsung hingga beberapa bulan. Mak dan Upik terlihat tegar. Ular sangat kagum dan terharu melihat ketabahan serta ketulusan hati Mak Timah dan Upik Manih. Ular merasa beruntung telah ditolong oleh meraka. Hingga suatu malam, ular bermimpi didatangi seorang kakek tua berbaju putih dan memakai sorban di kepalanya.

“Anakku, Besok tibalah saatnya kau akan berganti kulit. Kulitmu akan mengelupas dan tumbuh kulit yang baru. Tapi, kulit lamamu jangan kau buang. Serahkanlah kepada Mak Timah dan Upik Manih karena mereka yang telah menolongmu selama ini, lalu suruh mereka membakarnya,” kata kakek tua itu.

“Baik Kek! Tapi kenapa harus dibakar?” tanya ular.

“Sekarang saatnya kau membalas kebaikan mereka. Ketika kulit lamamu dibakar, nanti akan terdengar 3 letusan yang cukup keras. Pada setiap letusan mereka boleh mengajukan permintaan dan akan segera dikabulkan. Pada letusan pertama dan kedua mereka boleh memimnta apapun yang mereka mau. Namun, pada letusan ketiga mintalah pada mereka agar kau terbebas dari kutukanmu,” jelas sang kakek dalam mimpinya.

Beberapa saat kemudian, ular pun terbangun. Ia terkejut melihat kulit lamanya yang sudah mengelupas. Ia segera mencari Mak Timah dan Upik Manih untuk menceritakan mimpinya itu. Mak Timah dan Upik Manih percaya dan mau melakukan perintah kakek dalam mimpi itu.

Mereka segera menuju halaman rumah untuk membakar kulit ular tersebut. Tak lama kemudian terdengarlah sebuah letusan. Duaaarr! Upik segera menyebutkan permintaannya.

“Saya ingin memiliki sebuah ladang talang yang sangat luas dan subur,” pinta Upik.

Seketika itu juga permintaan Upik dikabulkan, mereka terkejut melihat sebuah ladang yang dipenuhi rumpun talang yang subur. Tak lama kemudian terdengar lagi letusan kedua. Duaaarr! Upik segera menyebutkan permintaan keduanya.

“Saya ingin memiliki sawah yang luas dan subur di sebelah ladang itu,” pinta Upik lagi.

Betapa terkejutnya mereka melihat sawah yang tiba-tiba ada di sebelah ladangnya dengan tanaman padi yang sangat subur dan luas. Rasa syukur dan bahagia terpancar dari kedua mata mereka. Beberapa saat kemudian terdengar lagi letusan ketiga. Upik mengajukan permintaan sesuai petunjuk kakek dalam mimpi itu.

“Saya mohon, bebaskanlah ular ini dari kutukannya,” pinta Upik penuh harap.

Tiba-tiba, muncul asap menyelimuti ular tersebut. Semakin lama asap itu semakin banyak dan tebal hingga ular tak terlihat lagi. Ketika asap mulai menghilang, muncullah seorang pemuda gagah dan tampan di hadapan mereka.

Betapa kagetnya Mak Timah dan Upik melihat kejadian ini. Mereka seolah tidak percaya bahwa ular yang mereka pelihara sekarang telah berubah menjadi seorang pria yang gagah, tampan dan baik hati. Sejak saat itu, mereka hidup bahagia bersama.

Beberapa hari kemudian, pemuda itu pun meminang Upik Manih untuk dijadikan istrinya. Upik Manih setuju, mereka akhirnya menikah dan hidup bahagia. Pohon talang di sekitar kaki gunung itu pun semakin subur. Karena banyaknya talang di sana, gunung itu dinamakan Gunung Talang. Begitulah balasan bagi orang yang sabar, ikhlas dan suka berbuat baik.


PENULIS

Yeni Fitri

ASAL CERITA

Kabupaten Solok Sumatera Barat

BAHASA

Bahasa Indonesia

KATEGORI

Cerita Rakyat

LABEL

lemangbalasanpertolonganMak Timah Upik ManihKutukan UlarGunung TalangKabupaten SolokSumatera Baratpohon talang
Favoritkan

SEMUA TANGGAPAN

v: 2.2.1