Sitti Suryani, S.Pd., M.Pd.

Je'neberang

Seperti biasa, matahari menyelinap di balik awan. Langit menciumi wajah bumi yang tengadah. Lambaian tangkai-tangkai pinus membelai lembut angin yang bertiup sepoi. Nyanyian burung di balik kaki Bawakaraeng mengiringi perjalanan seorang pemuda yang hendak mencari ayahnya di desa seberang. 

Seseorang yang dia tak kenali wajahnya. Rindu tak terbendung. Ingin sekali dia bertemu dengan ayah yang belum pernah dilihatnya. Karena kebersamaan mereka terakhir ketika dia masih berada dalam kandungan ibunya. Lalu ayahnya merantau dan tak kembali lagi.

Sepanjang perjalanan ia bersenandung pelan, suaranya begitu lembut hingga gemercik air sungai yang mengalir sepenjang jalan, tampak kakinya keras terdengar mengalahkan syahdu senandungnya. 

Sambil tersenyum membayangkan pertemuan dengan ayahnya nanti, Dia mengingat kata-kata ibu dan gurunya ketika dia hendak berpamitan. "Jagalah dirimu baik-baik. Berantaslah semua kezaliman yang kamu temui disepanjang perjalananmu" sang pemuda terus mengingat pesan itu. Dadanya menarik nafas panjang menandakan kesiapannya. 

Sambil bersenandung, dia menarik sebuah parang peninggalan ayahnya yang diselipkan dipinggangnya. Sebuah parang yang dititipkan ayahnya kepada ibunya dengan pesan agar nanti di berikan kepada pemuda itu jika dia sudah tumbuh dewasa kelak.

Itulah benda satu-satunya yang menjadi pedoman perjalanannya. Sebab, melihat wajah ayahnya pun dia belum pernah. 

Menurut cerita ibunya, sudah lama ayahnya pergi merantau ke desa kawasan lereng gunung Bawakaraeng demi mendapat penghidupan yang lebih layak. Namun setelah sekian lama ayahnya tak kunjung kembali dan menerlantarkan ibu dan dirinya. 

Meskipun demikian, dia tak pernah sedikitpun mendendam pada apa yang telah dilakukan ayahnya. Rindunya kepada sang ayah semakin memuncak terlebih lagi setelah dia beranjak dewasa dan mampu untuk mencari ayahnya.

Pemuda itu terus berjalan menyisir hutan pinus yang tumbuh lebat mengiringi perjalanannya. Hatinya begitu yakin bahwa ayahnya masih hidup dan tinggal di desa lereng Bawakaraeng yang sebentar lagi didapatnya. lagi-lagi diusapnya parang sang ayah, kelak dia akan menceritakan kepada ayahnya parang itu telah memberantas kezaliman.  Kezaliman yang ia temui sepanjang perjalanan. Ayahnya pun pasti akan merasa bangga harapnya.

Matahari terbit bangunkan dia dari tidurnya ketika nyanyian burung kecil menyapa. 

Setelah berhari-hari perjalanan, sampailah pemuda itu di tempat tujuannya, sebuah desa yang dicarinya sesuai cerita ibu dan gurunya. 

Pandangan matanya menyapu setiap kegiatan masyarakat yang dia lewati telah sampai di pasar desa. 

Dilihatnya keramaian orang-orang desa yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Mereka bertukar data dan asa sampai tercapainya kesepakatan bersama. Sungguh berbeda dengan kegiatan di desanya yang sunyi senyap. 

Perlahan kakinya melangkah mendekati sebuah tempat berjualan. 

Dia merasa lapar,  perutnya hampir dua hari tidak makan karena bekalnya habis dalam perjalanan.

Setelah beberapa langkah berjalan, ternyata tempat yang dia temui, sebuah tempat berjualan ikan. Beberapa langkah lagi sampai dan dapat menyentuh ikan-ikan yang masih segar itu. Langkahnya terhenti. 

Dilihatnya sebuah keributan kecil disana. Hatinya masih ragu untuk mendekat, karena dia merasa masih terlalu baru di desa itu. Beberapa pemuda berbadan kekar mengelilingi seorang kakek penjual ikan. 

Si pemuda melihat mereka membentak sang kakek. Tampak kakek meminta belas kasihan. Tak lama kemudian pemuda berbadan kekar itu meninggalkan sang kakek yang tertunduk lemas memperbaiki jualan ikannya yang berhamburan.

Setelah di rasa aman, pemuda itu melangkahkan kakinya menuju tempat jualan sang kakek tersebut. Tergerak hatinya untuk bertanya tentang keributan tersebut.

"Permisi ….pak, apa gerangan yang terjadi ?" tanyanya sambil melihat-lihat ikan yang masih segar itu.

"Apakah kamu tidak tahu? atau mungkin kamu orang baru di sini?" tanya si penjual ikan. 

Belum sempat pemuda itu menjawab, kakek itu melanjutkan pertanyaan. "Kami para penjual di pasar ini harus membayar upeti yang sangat tinggi kepada kepala kampung. Kepala kampung kami bukanlah orang yang baik, dan sebagai orang baru di sini kamu harus berhati-hati."

Pemuda itu terdiam mendengarkan petuah yang didapatnya.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat dan membentuk bayang-bayang di ujung peliput mata si pemuda. Pemuda itu terkejut memandang dia yang di tinggal. "Permisi tuan silakan dilihat ikannya", sapa sang kakek penjual ikan itu kepada orang yang baru datang. Si gadis itu hanya tersenyum sambil memiilih-milih ikan yang besar yang masih segar.

Sekejap pemuda itu terpana. Dilihatnya bagaikan seperti bidadari yang turun dari langit ke tujuh dari kayangan yang kasat mata, Begitu cantik rupanya serasa tersiram air surgawi pandangannya. Hati pemuda itu langsung terasa tentram dan damai. Dia langsung jatuh cinta kepada gadis itu. Gadis itu pun memandang hingga pipinya memerah. 

Ketika dirasa belanjanya cukup, dia beranjak pergi, sekali lagi melemparkan senyuman manis kepada pemuda itu. 

Pertemuan mereka tak hanya sampai di situ, keesokan harinya pemuda itu kembali datang ke tempat penjual ikan tersebut, dengan harapan dapat bertemu kembali dengan gadis itu. Dan ternyata sang gadis pun demikian. 

Mendung tak berharap hujan tetapi tak di dapatinya pelangi. Tak menyangka si pemuda akan bertemu lagi dengan si gadis. Begitu pula sebaliknya, Sejenak dia telah melupakan tujuan utamanya ke desa itu untuk mencari sang ayah. 

Kisah mereka terus berlanjut hingga padi menguning di sawah. Namun belum didapatinya kabar akan keberadaan sang ayah. Hari-harinya tak lagi memikirkan sang ayah, semua dia lewati dengan sang kekasih barunya. 

Meskipun baru dikenal beberapa bulan, pemuda itu memantapkan untuk melanjutkan hubungannya kejenjang yang lebih serius, begitu juga dengan si gadis, terlihat mencintai pemuda itu.

Namun, mereka tak pernah menyadari bahwa mereka telah lama di mata-matai pesuruh kepala kampung.

Mereka tidak senang dengan pemandangan ini, kemudian terlintas untuk menghancurkan hubungan mereka atas perintah sang kepala kampung yang telah mendengar kisah percintaan mereka.

Hingga pada suatu sore, mendung menyelimuti langit desa itu. Gerimis mulai turun dengan rintik hujan. Saat itu si pemuda dan kekasih barunya pulang dari perjalanannya di pinggiran sungai.

Mereka mencari tempat berteduh di sebuah gubuk kecil tempat para petani biasanya beristirahat. Ketika mereka berdua sedang bermesraan, dengan tiba-tiba beberapa orang bertubuh kekar yang pernah ditemui pemuda itu saat pertama kali datang di desa ini, datang mengepung mereka berdua. 

Si pemuda dan si gadis itu terkejut. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, dengan perlahan seorang pria paruh baya bertubuh besar berjalan mendekatinya.

"Ayah….?," teriak si gadis kepada lelaki itu. Sang pemuda terkejut setengah mati, "Apa kamu bilang…,? Ayah...? bukankah dia kepala kampung di sini?" tanya si pemuda itu sambil berbisik. "Iya….dia adalah ayahku, untuk apa ayah ke sini?" tanya si gadis itu.

"Kamu pulang sekarang!" bentak ayahnya. "Sudah lama ayah menyuruh mereka untuk mengintai pemuda asing ini di desa kita. Dan ayah tidak terima kalau dia harus menjadi kekasihmu, anakku".  Bersamaan dengan kata-kata sang kepala kampung, para pesuruhnya menarik sang gadis menjauh dari genggaman kekasihnya. 

Sang gadis berontak mencoba melepaskan diri. Tetapi tangan-tangan para pesuruh kepala kampung terlalu kuat untuk dilawanya. Dia hanya mampu menangis.

Pemuda itupun sedikit melawan dengan perlakuan para pesuruh kepala kampung. Dengan lantang dia pun menantang kepala kampung yang merupakan ayah dari gadis yang di kasihinya. 

Sore itu, di lapangan desa dekat sawah penduduk yang membentang membentuk Piramida emas, sang gadis harus menyaksikan peristiwa tersebut dalam hidupnya. Burung-burung gagak terbang mendekat menyanyikan lagu kematian. Senja yang mencekam itu akan menjadi peristiwa dimana sang pemuda akan membunuh kepala kampung yang dari dulu telah di incarnya sebagai pelaku kezaliman yang harus dia berantas, 

Sang pemuda pun telah bertekad membunuh sang kepala kampung setelah menghabisi seluruh pesuruhnya.

"Apa?  dengar anak muda, kamu tidak pantas menikahi anak gadisku dengan derajatmu yang hina itu. Dan tentunya kamu tidak akan bisa membunuhku".

Tetapi ….terlambat, pemuda itu telah mencabut parangnya dan berlari seraya menebaskan lalu menancapkan parangnya tepat di perut sang kepala kampung, dan seketika itu jatuh ke tanah. 

Detik-detik kematiannya, dia terkaget dengan apa yang dilihatnya ditangan pemuda itu, Dengan terbata-bata dia berkata,  "Wahai anak muda…..dari mana kamu mendapatkan parang itu ?

"Ini adalah pusaka peninggalan ayahku yang sedang kucari keberadaannya, dan parang ini juga yang telah menghabisi pelaku-pelaku kezaliman dalam pengembaranganku, Termasuk kau" jawab si pemuda dengan bangga dan puas.

"Apa betul yang kamu ceritakan itu?"

"Ya….. dan selama parang ini masih dalam genggamanku kezaliman takkan pernah ku biarkan" kata si pemuda itu.

"Tapi …...tapi….". Sang kepala kampung ingin berucap dengan menahan sakitnya. Pemuda itu sedikit bingung dengan tingkah si kepala kampung.

"Tapi …... ketahuilah...nak...aku….adalah si pemilik parang itu.dan itu berarti aku….akulah orang yang kamu cari . Maafkan ayah karena meninggalkanmu bersama ibumu….". Dia bercerita sambil merintih menahan rasa sakit.

"Maaf kanlah aku nak…..dan…..dan…..kini aku bahagia bisa mati ditanganmu sendiri...dan anakku….dia ...(sambil menunjuk ke anak gadisnya) dia ….adalah adikmu.." kata sang Ayah. Pemuda itu terperanjat, matanya membelalak tanda tidak percaya, ternyata dia adik dari lain ibu. 

Mentari sudah turun di ufuk Barat dan takkan bisa terulang lagi. Kepala kampung telah mati di ujung parang miliknya sendiri dan dalam pelukan anak gadisnya. Sang pemuda masih terdiam tidak percaya, hingga akhirnya dia berlari sambil menebas semua semak belukar yang  menghalanginya. 

Darah sang ayah masih segar membekas di parangnya, air matanya bercucuran menyesali perbuatanya . Sampai di depan batu besar. Dengan amarah dan penyesalan dia memandangi batu besar itu sambil terus menangis dan memanggil-manggil ayahnya. 

Penantian panjang untuk bertemu ayahnya terbuang sia-sia. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari dalam batu besar yang dia parangi. 

Gerakannya terhenti mendengar suara yang semakin besar itu. Hingga dengan tak di duga, batu besar itu mengeluarkan air yang sangat deras sekali. 

Pemuda itu terkesiap dan terpental jauh terbawa derasnya air tu. Dia hanyut dan tidak di temukan lagi, hanya sepenggal cerita yang menetap. Sampai saat ini, air itu mengalir dengan derasnya yang kita kenal sebagai sebutan sungai Je'neberang. Sungai Je'neberang memiliki panjang sekitar  75-80 Km mengalir dari timur ke barat dari Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang menuju ke Selat Makassar.


PENULIS

Sitti Suryani, S.Pd., M.Pd.

ASAL CERITA

Kab. Gowa

BAHASA

Bahasa Indonesia

KATEGORI

Cerita Rakyat

LABEL

Je'neberangSungai Je'neberangSulawesiGowa
Favorit

SEMUA TANGGAPAN

v: 2.2.1